Font Size

SCREEN

Profile

Layout

Direction

Menu Style

Cpanel

Kemerdekaan Ekonomi

Pada Kamis (3/8/17), publik disentak oleh berita pilu dari Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Bekasi. Hanya karena dugaan pencurian pengeras suara (amplifier) milik mushala Al Hidayah,  Muhamad Aljahra atau Zoya (30 tahun) di gebuk sadis dan dibakar hidup-hidup oleh warga di tengah keramaian pasar. Emosi warga memuncak, seolah tidak memerdulikan lagi mekanisme hukum yang ada. Ini adalah tindakan paling biadab.

Tidak jauh dari Desa tersebut, Grup Lippo, sebuah perusahaan kakap, sedang membangun kota ambisius, metropolitan Meikarta di Cikarang, Bekasi. Kawasan ini seluas 500 hektar dan digelontorkan dana senilai Rp267 triliun, dengan menara menjulang tinggi sebanyak 289 unit serta fasilitas nyaman dan mewah karena didukung sistem transportasi terpadu. Tentu, Grup Lippo berharap membangun sebuah “sorga” bagi orang-orang berduit, bukan orang-orang seperti almarhum Zoya yang dibakar hidup-hidup oleh warga desa.

Di tengah proses pembangunan dan promosi masif kota Meikarta di berbagai media massa nasional, Wakil Gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, pada Rapat Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), 31 Juli 2017 di Bandung, secara tegas menyatakan pembangunan kota Meikarta belum memiliki izin, dan Meikarta agar segera menghentikan proses pembangunan karena RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) belum dituntaskan.

Iniilah wajah kontras yang akrab dihadapai bangsa Indonesia. Wajah pilu rakyat mayoritas berhadapan kekuatan minoritas pemilik modal. Ini pulalah yang mengonfirmasi bahwa negara lumpuh berhadapan pemilik modal kakap. Fakta inilah mengamini bahwa pemiliki modal kakap ternyata telah menentukan “hitam-putihnya” Republik yang telah berusia 72 tahun ini.

Kemerdekaan Kemana?

Sejatinya, makna kemerdekaan ada dua, yakni kemerdekaan secara prosedural-konstitusional dan kemerdekaan substantif. Kemerdekaan prosuderal-konstitusional adalah kemerdekaan yang secara prosedur, bangsa dan rakyat Indonesia telah mampu mengusir penjajah dan melepaskan diri dari kolonialisme asing. Bahkan, secara konstitusional, alinea Pertama Pembukaan UUD 1945 menyatakan: "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Sementara kemerdekaaan substantantif, yakni kemerdekaan bermakna luas, seperti kemerdekaan sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan seterusnya. Pada suatu ketika Bung Karno  menyampaikan konsep Trisakti: “berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Menurut Bung Karno, suatu Negara tidak akan mampu berdaulat di bidang politik, jika tidak berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Dengan demikian, penjajahan yang harus dihapuskan di bumi Indonesia adalah penjajahan yang tidak sesuai perikemanusiaan dan perikeadilan. Artinya, penjajahan yang dimaksud tidak semata kolonialisme asing tapi juga kolonialisme domestik. Fakta sejarah mengonfirmasi, kemerdekaan kata Bung Karno, merupakan “jembatan emas” menuju kemakmuran yang berkeadilan dan berperikemanusiaan. Sebelum Indonesia dijajah, secara fakta politik sudah ada kekuasaan di tangan para raja dan sultan. Tatakala VOC tiba di Tanah Air, maka para raja dan sultan banyak yang menjual sumberdaya ekonominya berserta rakyat yang diperlakukan bagai budak, diserahkan kepada VOC.

Usai penjajahan VOC, dilanjutkan oleh pemerintah Belanda yang selama berabad-abad rakyat kita sengsara dieksploitasi, kerja rodi, dan dihina sebagai inlander  Hinga kemudian di alam kemerdekaan prosedural-konstitusional sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini pun, fakta telanjang masih akrab terlihat penjajahan masih dilakukan oleh bangsa sendiri, pemodal kakap dan komprador domestik berkolaborasi dengan bangsa asing. Sumberdaya ekonomi bangsa akhirnya dikuasai korporatokrasi global. Sehingga kemerdekaan substantif hanya sekadar imajinasi yang tidak pernah terwujud karena disandera oligarki kepentingan ekonomi dan politik.

Yang terjadi kemudian, penguasa modal kakap domestik menyebarkan “teologi balas budi” kepada penguasa dan calon penguasa politik baik secara individu maupun kelembagaan, termasuk kekuatan partai politik (Parpol) besar. Penguasa modal kakap itu tidak pernah berafiliasi dengan siapa pun, kecuali berafiliasi dan merawat kepentingan modalnya. Mereka inilah yang sejatinya menentukan “hitam-puithnya” Republik, yang seolah mereka tidak ada tapi pada faktanya merekalah yang mengatur kekuatan dan kebijakan ekonomi dan politik nasional.

Di Amerika Serikat misalnya, jumlah populasi Yahudi hanya sebesar 7 juta jiwa dari 340 juta penduduk Amerika. Orang-orang Yahudi tidak pernah berambisi menjadi Presiden Amerika. Namun, fakta berbicara bahwa siapa pun Presiden di negeri Paman Sam itu, pastilah otak kebijakannya berpihak ke bangsa Yahudi. Begitu pula kekuasaan pemilik modal kakap di Tanah Air, mereka yang jumlah secuil itu telah menentukan corak dan arah kebijakan negeri nan elok Indonesia ini.

Free Fight Liberalism

Sejak reformasi melanda bangsa kita, kredibilitas Negara makin lumpuh. Institusi-institusi Negara mandul, dan kemudian terjadi aransemen kelembagaan baru, yang tampaknya tidak siap berkompetisi terhadap derasnya arus liberalisasi ekonomi dan politik. Apa yang perlu dilakukan? Pertama, liberalisasi ekonomi sejatinya harus diiringi demokratisasi ekonomi. Partisipasi ekonomi rakyat stagnan, yang diindikasikan matinya pelbagai aktivitas kearifan ekonomi lokal dan industri ekonomi rakyat. Ekonomi petani dan nelayan tempat rakyat menggantung hidupnya “mati suri”.  Sementara liberalisasi ekonomi, justru hanya menguntungkan pemodal kakap, yang berkolaborasi korporasi asing dan penguasa politik domestik. Kegiatan produksi, distribusi, dan pemasaran produk hingga ke pelosok-pelosok desa (hulu-hilir) dikuasai jaringan distribusi pemodal kakap.

Kedua, liberalisasi politik kian menempatkan sirkulasi elite politik pemilik modal. Akibat liberalisasi politik, pemilik modal mendeterminasi oligarki parpol. Liberalisasi politik tidak mampu merangsang partisipasi politik rakyat, bahkan rakyat kian muak melihat “perilaku kurang beradab” para politisi. Di sisi lain, sumirnya ideologi partai, yang ditandai banyaknya politisi “kutu loncat”, memberi sinyal, liberalisasi politik hanya melahirkan politisi tuna-ideologi.

Liberalisasi ekonomi politik yang berkarakter free fight liberalism itulah, sejatinya menjadi biang patologi yang menjauhkan bangsa dari makna kemerdekaan. Tatakala terjadi krisis pangan misalnya, orang akan merujuk sumber hulunya pada kebijakan ekononomi-politik yang salah kaprah. Oligopolisasi pasar, yang diiringi perilaku tengkulak pengeruk keuntungan di jalur distribusi, justru sudah terang benderang siapa pelakunya. Tapi, Negara gamang bertindak.

Rentetan kasus penguasaan asing dan penguasaha kakap itu, menegaskan Negara sebagai “orangtua”, justru telah menginterupsi pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”. Para petani dan nelayan miskin, serta berjubel usaha rakyat, tidak mampu berdaulat di negerinya sendiri, karena Negara kurang memedulikannya. Diktum sila kelima Pancasila: “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menjadi hambar, karena letak sukma dan marwah bangsa makin di telan bumi. Merdeka!

DIREKTORI KHUSUS